Mengapa Slow Fashion – Di tengah gegap gempita tren fashion yang berganti nyaris setiap minggu, Seperti suara lirih yang tenggelam dalam kebisingan. Industri mode global telah lama di kendalikan oleh prinsip cepat, murah, dan instan. Fast fashion menawarkan koleksi baru dalam hitungan minggu, memaksa konsumen untuk terus merasa ketinggalan zaman jika tidak membeli produk terbaru. Sementara itu, slow fashion—yang mengusung kualitas, etika, dan keberlanjutan—terkesan terlalu “lambat” untuk dunia yang serba instan ini.
Konsumen modern di dorong untuk membeli lebih banyak, bukan lebih baik. Brand-brand besar menciptakan ilusi urgensi: “limited edition”, “diskon besar”, “last chance”. Tanpa sadar, masyarakat terjebak dalam lingkaran konsumsi impulsif yang bertolak belakang dengan semangat slow fashion. Tidak mengherankan jika gerakan ini seolah hanya menjadi idealisme segelintir orang, bukan arus utama.
Harga yang Tidak “Ramai” di Kantong
Satu fakta yang sering membuat orang mundur adalah harga. Slow fashion memang tidak murah, dan memang seharusnya tidak murah. Tapi masyarakat kita sudah terbiasa dengan harga baju Rp 50 ribu yang bisa langsung di buang setelah dua kali pakai. Kita menutup mata pada siapa yang membuatnya, di mana kainnya di produksi, atau bagaimana limbahnya di buang bonus new member. Di sisi lain, produk slow fashion di buat dengan mempertimbangkan kesejahteraan pekerja, kualitas bahan, dan dampak lingkungan—semua itu tentu datang dengan harga.
Masalahnya, narasi ini tidak “menjual” di tengah masyarakat yang masih memuja harga murah. Label harga menjadi patokan utama, bukan nilai di balik produk. Akibatnya, brand-brand yang mencoba idealisme slow fashion sulit bersaing dan sering di anggap “elit”.
Kurangnya Edukasi dan Kesadaran
Banyak orang tidak tahu bahwa satu kaos murah bisa berarti kerja rodi di pabrik luar negeri atau pencemaran air di sungai lokal. Informasi seperti ini jarang sampai ke konsumen. Kampanye-kampanye tentang keberlanjutan masih terlalu elitis, menjangkau hanya komunitas tertentu di kota-kota besar. Sementara jutaan orang lainnya terus terpapar iklan fast fashion yang tampil lebih “seru” dan menggiurkan.
Butuh lebih dari sekadar idealisme. Ia butuh narasi yang menyentuh, edukasi yang masif, dan sistem ekonomi yang mendukung. Selama budaya konsumsi masih di kendalikan oleh algoritma iklan dan tren musiman, slow fashion akan terus terseok-seok di pinggiran industri, di cintai oleh sedikit, tapi di lupakan oleh banyak.